Contoh Drama


Drama

Bapak
Karya: B. Selano

Bapak : “Dia putra sulungku. Si anak hilang telah kembali ulang. Dan sebuah usul diajukan segera mengungsi ke daerah penduduk yang serta aman tenteram. Hem ya.. ya, usulnya dapat kumengerti. Karena ia sudah terbiasa bertahuntahun hidup di sana. Dalam sangkar. Jauh dari debu
prahara. Bertahun-tahun mata hatinya digelapbutakan oleh nina bobok, lelabuai oleh si penjajah. Bertahun-tahun semangatnya dijinakkan oleh suap roti keju. Celaka. Oo, betapa celakanya.”

Si bungsu senyum memandang.
Bungsu : “Ah, Bapak rupanya lagi ngomong seorang diri.”

Bapak : “Ya, Anakku, terkadang orang lebih suka ngomong sendiri. Tapi bukankah tadi engkau
bersama abangmu?”

Bungsu : “Ya, sehari kami tamasya mengitari seluruh penjuru kota. Sayang sekali kami tidak berhasil menjumpai ma.....”

Bapak : “Tunanganmu?”

Bungsu : “Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan, ketika kami mendatangi asramanya, ia tidak ada. Kata mereka, ia sedang rapat dinas. He heh, seolah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja.”

Bapak : “Kita sedang dalam keadaan darurat perang, Nak. Dan dalam keadaan ini bagi seorang prajurit, kepentingan negara ada di atas segalanya. Bukan saja seluruh waktunya, bahkan jiwa raganya. Tapi, eh, mana abangmu sekarang?”

Bungsu : “Oo, rupanya dia begitu rindu kepada bumi kelahirannya. Seluruh penjuru kota dipotreti semua. Tapi, kurasa abang akan segera tiba dan sudahkah Bapak menjawab usul yang diajukannya itu?”

Bapak : “Itulah, itulah yang hendak kuputuskan sekarang ini, Nak.”
Bungsu : “Nah, itu dia!”

Si sulung datang dengan mencangklong pesawat potret mengenakan kata mata hitam. Terus duduk melepas kaca mata dan meletakkan pesawat potret di meja.
Sulung : “Huhuh, kota tercintaku ini rupanya sudah berubah wajah dipenuhi baju seragam menyandang senapan. Dipagari lingkaran kawat berduri dan wajahnya kini menjadi garang berhiaskan laras-laras mesin. Tapi, di atas segalanya, kota tercintaku ini masih tetap memperlihatkan kejelitaannya.”

Bapak : “Begitulah, Nak, suasana kota yang sedang dikecam keadaan darurat perang.”

Sulung : “Ya, pertanda akan hilang keamanan, berganti huru-hara keonaran. Dan mumpung masih keburu waktu, bagaimana dengan putusan Bapak atas usulku itu?”

Bapak : “Menyesal sekali, Nak...”

Sulung : “Bapak menjawab dengan penolakan, bukan?”

Bapak : “Ya.”

Bungsu : “Jawaban Bapak sangat bijaksana.”

Sulung : “Bijaksana? Ya, kaubenar, manisku. Setidak-tidaknya demikianlah anggapanmu karena bukankah secara kebetulan tunanganmu adalah seorang perwira TNI di sini. Tapi maaf, bukan maksudku menyindirmu, adik sayang.”

Bungsu : “Ah, tidak mengapa. Kauhanya sedang keletihan. Mengasohlah dulu, ya, Abang. Mengasolah, kaubegitu capek tampaknya. Bapak, biar aku pergi belanja dulu untuk
hidangan makan siang nanti.”

Sibungsu pergi. Si sulung mengantar dengan senyum.
Bapak : “Nak, pertimbangan bukanlah karena masa depan adikmu seorang. Juga bukan karena masa depan sisa usiaku.”

Sulung : “Hem. Lalu? Karena rumah dan tanah pusaka ini barangkali, ya Bapak."

Bapak : “Sesungguhnyalah, Nak. Lebih dari itu.”

Sulung : “Oo, ya? Apa itu ya, Bapak?”

Bapak : “Kemerdekaan.”

Sulung : “Kemerdekaan? Kemerdekaan siapa?”

Bapak : “Bangsa dan bumi pusaka ini.”

Si Sulung tertawa.
Sulung : “Bapak yang baik. Bertahun sudah aku di daerah pendudukan sana bersama beribu bangsa awak tercinta. Dan aku seperti juga mereka, tidak pernah merasa menjadi budak belian ataupun tawanan perang. Ketahuilah, Bapak, di sana hidup merdeka.”

Bapak : “Bebaskah kamu menuntut kemerdekaan?”

Sulung : “Hoho, apa mesti dituntut. Kami di sana manusia-manusia merdeka.”

Bapak : “Bagaimana kemerdekaan menurut kau, Nak?”

Sulung : “Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana, segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup dalam damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak...”

Bapak : “Dan di atas segalanya pula, di sana si Putih menjadi dipertuan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang kedaulatan, lambang kuasa, penjajahan. Dapatkah itu kauartikan suatu kemerdekaan?”

Sulung : “Baik, baik. Tapi ya, Pak, kita bukan politisi.”

Bapak : “Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah seorang politisi juga. Kendati tidak harus berarti menjadi seorang diplomat, seorang negarawan. Dan justru, karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah seorang patriot akan senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan.
Betapapun manis bentuk lahirnya. Renungkanlah itu, Nak. Dan marilah kuambil contoh masa lalu. Bukankah dulu semasa kita masih hidup, keluarga dalam suasana aman tenteram dan masa pensiun yang enak, sudah dengan sendirinya berarti hidup dalam kemerdekaan? Tidak Anakku! Kemerdekaan tidak ditentukan oleh semua itu. Kemerdekaan adalah soal harga diri kebangsaan, soal kehormatan kebangsaan. Ia ditentukan oleh kenyataan, apakah suatu bangsa menjadi yang dipertuan mutlak atas bumi pusakanya sendiri atau tidak. Ya, anakku, renungkanlah kebenaran ucapan ini. Renungkanlah ......”

Contoh Drama Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Bambi